Jumat, 21 Maret 2014

AKU INGIN BERTEMU PRESIDEN

AKU INGIN BERTEMU PRESIDEN

24 Januari 2013 pukul 4:33 
Oleh : Djoko Santoso 


“Pak Iyan!” seorang petugas yang berbaju putih lengkap dengan membawa secarik kertas pendaftaran memanggil dari balik pintu kamar pengambilan darah sebuah kantor cabang UTDC PMI.
Seorang bapak-bapak bergegas beranjak dari tempat duduknya dan meletakkan koran harian ibukota yang sedari tadi asyik dibacanya.
“Iya Sus” sahut pak Iyan.
Pak Iyan adalah salah satu donor darah sukarela PMI yang selalu rajin menyumbangkan darahnya untuk PMI, dalam satu tahun dia bisa lima kali mendonorkan darahnya. Sudah kurang lebih 10 tahun dia menjadi donor darah. Donor darah kali ini adalah yang ke 49, satu kali lagi dia akan bertemu dengan bapak presiden. Sudah lama PMI memberikan penghargaan ini bagi pendonor darah sukarela mulai dari 5, 10, 25, dan puncaknya ke 50 kali akan bertemu dengan presiden langsung. Dengan model penghargaan seperti ini di harapkan akan merangsang orang-orang untuk sudi menjadi donor darah sukarela. Maklum jaman sekarang ini sangat susah mencari donor darah sukarela.
“Silakan masuk Pak Iyan” sapa petugas tersebut dengan sangat ramah, dia sudah hafal betul dengan tabiat pak Iyan, dia paling tidak suka kalau diperlakukan kurang ramah. Kalau sudah marah pak Iyan tak segan-segan memaki-maki petugas. Maklum dia adalah salah seorang yang disegani di desanya.
Pak Iyan langsung mengambil tempat tidur pengambilan darah dan langsung berbaring. Seorang petugas lain yang bertugas mengambil darah datang menghampiri.
“Di tensi dulu ya pak” kata petugas sambil langsung memasang manset di lengan pak Iyan. Jangan salah kalo petugas amprah darah memasang manset selalu terbalik, itu untuk mempermudah pengambilan darah. Pak Iyan mengangguk tanda setuju.
“Bagus pak, seratus duapuluh per delapanpuluh” kata petugas sambil mempersiapkan peralatan pengambilan darah.
“Saya tusuk ya pak ?” dengan sangat hati-hati dan teliti petugas itu menusuk pembuluh darah yang ada di lengan pak Iyan, seketika itu juga mengucurlah cairan berwarna merah kehitaman melalui selang menuju kantong darah. Setelah memasang perekat di jarum penusuk, kantong darah digoyang-goyang oleh petugas.
“Petugas baru ya mbak? Baru kali ini saya ketemu mbak”, sapa pak Iyan. “Namanya siapa?” tanya pak Iyan melanjutkan.
“Nama saya Lani pak, saya baru satu bulan kerja di sini. Bapak kayaknya udah hafal betul dengan PMI, udah sering donor pak?”
”Nggak juga sih, baru empat puluh sembilan kali” kata pak Iyan sambil menyembunyikan rasa bangganya.
”Wauw!” Lani tersentak kaget. ”Hebat sekali bapak, jarang lho pak ada orang yang mau mendonorkan darah sebanyak ini. Boro-boro mau donor sukarela, dibayar aja kadang pada ga mau. Kalaupun ada kadang-kadang mereka pada minta imbalannya gede”.
”Itulah manusia neng. Neng siapa tadi?”
”Lani pak”.
”Iya neng Lani. Kadang mereka hanya memandang materi aja, mereka ga pernah berpikir bagaimana susahnya mencari darah pada saat membutuhkan. Uang udah ga ada, darah ga ada, mereka harus mencari kemana coba? Kalau bukan kita-kita, siapa lagi” Kata pak Iyan prihatin. ”Kalau neng Lani sendiri sering donor darah ga?”.
”Penginnya sih saya kaya bapak, saya pernah dua kali donor tapi yang ke dua darah saya ditolak. Ternyata HBSAg saya positif, jadi sampai sekarang saya belum bisa donor darah lagi” keluh Lani.
Tiba-tiba di lobi depan ada keributan.
”Bagaimana sih PMI ini, lama amat ngasih darahnya, bapak saya butuh secepatnya, kalau ada apa-apa dengan bapak saya PMI harus bertanggung jawab!” seorang laki-laki setengah tua membentak petugas informasi, sambil memukul-mukul meja. Semua orang yang berada di ruang tunggu mengarahkan pandangan kepadanya. Ada yang saling berbisik. Seorang ibu muda mendatangi sambil mengelus pundak bapak tersebut
”Sabar dong pak, kan perlu proses”
”Mau sabar gimana, sudah satu jam lebih saya menunggu!”
”Maaf pak, bapak bisa duduk sebentar” pinta seorang petugas informasi dengan sangat ramah sambil menyodorkan sebuah kursi. ”Saya Ike, petugas informasi di sini, Saya paham perasaan bapak dan bisa mengerti. Tapi pak, darah yang akan diberikan kepada orang tua bapak perlu proses yang memakan waktu kurang lebih dua jam dan bisa lebih jika memerlukan proses tertentu”
”Bapak saya itu sudah sakit keras, dan memerlukan darah saat ini juga, proses apaan sih. Lama amat, keburu mati bapak saya!” potongnya dengan nada masih tinggi.
”Bapak...” dengan sangat lembut Ike menyapa, memang dia petugas yang paling sabar, setiap ada masalah dengan klien Ike adalah negosiator nomor satu. Sudah cantik parasnya lembut tutur katanya, sopan tindak tanduknya. Pantas aja dr Ardi selalu memintanya untuk selalu menemani bila ada donor keliling. Dr Ardi adalah salah satu dokter sukarela yang ada di PMI.
”Prosesnya emang agak lama pak, semua ini dilakukan untuk kepentingan pasien juga. Kalau proses ini tidak dijalankan, maka akan sangat berbahaya sekali bagi pasien, bukannya manfaat yang didapat tapi sakitnya bisa tambah parah, bahkan bisa menimbulkan kematian. Dalam proses ini dilakukan banyak pemeriksaan diantaranya cross ceck guna mencocokkan apakah darah ini bisa diterima oleh pasien? Kalau misalnya tidak dilakukan dan ternyata darah ini tidak cocok bisa menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan sampai bisa menimbulkan kematian. Itu salah satunya. Pemeriksaan HIV, Sipilis, Hepatitis juga dilakukan disini, jadi nantinya diharapkan darah yang diberikan ke pasien adalah benar-benar darah yang aman” Ike menerangkan dengan sangat gamblang.
”Terimakasih”, kata bapak tadi sambil ngeloyor malu.
Kantong darah yang berada di tangan Lani sudah penuh.
”Sudah pak” sambil membereskan kantong darah yang sudah penuh tadi, Lani menuangkan sedikit darah ke tabung reaksi. Kemudian menempelkan sehelai plester ke lengan pak Iyan.
”Terimakasih”, kata pak Iyan seraya menuju ruang makan. Memang sudah sejak lama setiap pendonor darah akan mendapatkan snack dan segelas susu setelah pengambilan darah. Pak Iyan segera menyantap hidangan yang ada di depannya.
“Pak Iyan, ini kartunya” kata seoang petugas sambil menyodorkan kartu donor dara sukarela milik pak Iyan, “Satu kali lagi bisa ketemu langsung dengan pak presiden pak” lanjutnya.
Pak Iyan hanya bisa tersenyum, dia berusaha menyembunyikan kebanggaannya.
“Iya neng, mudah-mudahan masih diberi kesehatan dan kemudahan” jawab pak Iyan.
Hidangan di depan pak Iyan sudah habis, pak Iyanpun segera meninggalkan PMI.
______*****_____
Dua bulan kemudian
“Pos, pos. Permisi, ada surat pak, bu!” seorang tukang pos memanggil-manggil.
Andi langsung membuka pintu dan menyambutnya. “Ada surat pak? Untuk siapa?”
“Untuk pak Iyan, ini suratnya dik, tolong tanda tangan disini ya” Kata pak Pos sambil menyodorkan surat dan sehelai kertas untuk ditandatangani.
Tanpa pikir panjang Andi langsung tanda tangan. “Ini pak, makasih” kata Andi sambil menyodorkan kembali kertas yang sudah ditandatangani.
“Bapak! Bapak! Ada surat dari PMI!” teriak Andi memanggil-manggil bapaknya.
Andi adalah anak satu-satunya pak Iyan, dia sudah kelas dua di salah satu SMU favorit di kotanya. Tanpa menunggu kedatangan bapaknya Andi langsung saja membuka sebuah surat yang dari tadi dipegangnya dan langsung membacanya. Setengah tak percaya Andi memberitahu bapaknya, “Bapak, Undangan dari PMI, bapak diundang ke Istana negara!” teriak Andi keras-keras.
“Ngapain sih teriak-teriak?”, pak Iyan sudah tahu, itu adalah undangan yang selama ini dia tunggu-tunggu “Nanti tetangga pada tahu semua, ga enak sama tetangga” kata pak Iyan melanjutkan.
“Mama, harus dikasih tahu nih pak” dengan penuh semangat Andi memangil mamanya, “Mama, Mama!” teriak Andi, “Mamaaaa..!”
Begitulah Andi kalau memanggil mamanya, sampai-sampai orang se-RT pada denger semua.
“Apaan sih Andi, mama belum budeg tahu!?” sahut mamanya agak sewot.
“Nih Ma, baca sendiri” kata Andi sambil menyodorkan surat.
“Mama males baca, Andi aja yang bacain”
“Ayolah Ma, pasti Mama kaget baca isinya” pinta Andi sungguh-sungguh.
“Iya, mana suratnya” sahut mamanya sambil merebut surat dari tangan Andi.
Bu Iyan membaca surat itu dengan perlahan-lahan, dan kemudian dia membelalakkan matanya dan mengangkat bahunya tanda terkagum-kagum, wajah keceriaan tampak dari raut mukanya, dia tidak tahu kalau sedari tadi suaminya memperhatikan dari belakangnya. Bu Iyan melihat sekelilingnya mencari-cari sesuatu, dan matanya tertuju pada sosok yang sudah duapuluh tahun mendampingi hidupnya, dia langsung menghampiri dan memberikan pelukan hangat untuk pak Iyan, setetes air mata bahagia tampak mengalir dari sudut mata keduanya.
“Bapak hebat, ibu ga nyangka kalau bapak selama ini jadi donor darah sukarela di PMI” puji bu Iyan. Memang selama ini pak Iyan tidak pernah menceritakan hal ini kepada keluarganya.



---*----


“Assalammu’alaikum...” Pak Iyan memberi salam.
“Wa’alaikum salaam, silakan duduk pak Iyan”, sahut dr. Ardi seraya mengulurkan tangan. Keduanyapun terlihat begitu hangat berjabat tangan yang dilanjutkan dengan pelukan penuh kebanggaan “Bapak hebat euy, susah mencari orang seperti bapak” puji dr. Ardi.
Pak Iyan hanya bisa tersenyum “Dokter bisa aja, semua karena dukungan dari dokter “.
“Silakan duduk pak” pinta dr. Ardi.
“Begini Pak Iyan” lanjut dr. Ardi seraya menggeser kursinya mendekat ke meja, “Semuaunya sudah diatur, bapak tinggal datang, ikuti jadwalnya, dan selanjutnya dan selanjutnya” dr. Ardi tidak bisa menerangkan secara detail, “Bapak tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun, semuanya sudah ada yang menanggung.”
“Saya nanti harus pakai baju apa dok?”
“Bawa aja baju batik, baju putih, kalau ada stelan jas dan dasi. Kalau tidak ada juga ga apa-apa. Intinya pakai baju rapi dan sopan”
“Dok, acaranya nanti kan sampai malam, trus dilanjutkan lagi pagi harinya, pulang perginya gimana dok?”
“Pak Iyan, ga perlu mikirin yang kaya gitu, pak Iyan ga perlu pulang, sudah disediakan penginapan untuk pak Iyan” jelas dr. Ardi.
“Boleh bawa isteri dok?”
“Jangankan Isteri pak, anak juga boleh, kalau perlu isteri simpanan juga boleh dibawa”, seloroh dr. Ardi seraya tertawa.
“Ha, ha, ha...”, pak Iyanpun ikut tertawa lepas.
“Kriing,.....kriing,” suara telepon di ruang dr. Ardi bedering.
“Assalammu’alaikum” sapa dr. Ardi
“Wa’alaikum salam. Maaf dok mengganggu. Ada pasien pingsan di ruang dua dok,” sahut Lani di telepon.
“Lu, apain aja, pasien bisa sampai pingsan?” tanya dr. Ardi bercanda.
“Cepetan dok, serius nich”, pinta Lani seraya menutup teleponnya.
“Maaf Pak Iyan, saya harus ke ruang dua, ada pasien pingsan, sampai besuk pagi pak Iyan” dr. Ardi berdiri dan menjabat tangan pak Iyan, lalu menuju kamar dua.
“Silakan dok, terimakasih” sahut pak Iyan seraya keluar dari ruang dr.ardi.
Raut muka pak Iyan masih tampak kebingungan, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, dia belum bisa membayangkan apa yang akan dihadapinya besuk pagi.
“Pak Iyan, kok bengong?” sapa seorang petugas PMI.
“Eh, iya. Eneng ngagetin saya aja” Pak Iyan terperanjat kaget.
“Selamat ya pak”
“Terimakasih Neng” sahut pak Iyan.
Pak Iyanpun segera meninggalkan gedung PMI, gedung yang selama kurang lebih sepuluh tahun dia kunjungi, gedung yang akan mengantarkan dia bertemu dengan presiden.
-----*-----




”Waduh, enak sekali, makan apaan?” sapa dr Agus dimuka pintu kamar perawat kenanga.
”Eh, malam dok. Cepet amat datangnya? Belum juga sepuluh menit” suter Diana balik menyapa, tanpa rasa cangung sedikitpun. Beginilah hubungan dokter jaga dan perawat seperti teman aja. Bukan sebagai atasan dan bawahan namun sebagai mitra kerja. Dokter Agus adalah salah satu dokter paling rajin di rumah sakit ini, bila dipanggil selalu cepat datang, banyak perawat yang suka jika dia yang jaga.
”Dikamar berapa Pasiennya?”
”Kamar enam Dok, nyonya Maria. Masih sesak, padahal udah nebul, dexa, amino drip” terang suster Diana seraya merapikan makanannya yang baru dimakannya dua suap.
”Oksigennya berapa?”
”Dua dok”
”Ke pasiennya yuk” ajak dr. Agus seraya mengabil stetoskop. Suster Diana segera mengikutinya.
”Selamat malam bu Maria. Saya dokter Agus, dokter jaga disini, ada yang bisa saya bantu?” Begitulah dokter agus bila menyapa pasiennya, sopan, halus tapi tegas.
”Malam dok” bu Maria balik menyapa dengan susah payah menandakan dia benar-benar sesak. ”Masih sesak aja dok”
”Ibu kelurganya?” pertanyaan dr. Agus tertuju pada ibu setengah baya yang berdiri disamping ranjang bu Maria.
”Iya dok” sahutnya sambil mengangguk.
”Saya periksa bu Maria sebentar, tolong ibu geser sedikit”
Dokter Agus segera memeriksa, sambil mengangguk-anggukkan kepala.
”Sus, Extra nebuliser ya, satu kali, kalu masih sesak boleh dua kali. Kalau masih sesak juga, periksa AGD” pinta dr. Agus.
”Siap dok!” balas suster Diana sangat tegas.
”Bu Maria, ibu harus diuap lagi, mungkin sekali atau dua kali, tergantung perkembangannya nanti. Ibu yang sabar ya, mudah-mudahan cepat membaik”
”Iya dok, terimakasih” sahut bu Maria.
Dokter Agus segera menuju kembali ke ruang perawat untuk menulis lembar follow up dan resep. ”Tolong resepnya sus” dokter Agus mengulurkan tangannya meminta resep.
”Ini dok” suster Diana memberikan secarik kertas resep.
Dalam sekejap, resep sudah jadi ”Tolong kasih keluarganya” pinta dr. Agus seraya menyodorkan resep ke Diana, tanpa menunda lagi suster Diana langsung ke kamar bu Maria.
”Malam bu, ibu keluarganya?” tanya suster Diana kepada ibu yang sejak sore mendampingi bu Maria.
”Iya sus, kenapa?” ibu itu balik bertanya.
”Ibu, ini ada resep yang harus dibeli, sekarang” suster Diana menjelaskan.
”Beli?” ibu itu kebingungan. ”Dokter tadi bilangnya EKSTRA, kok harus beli?”
”Ibu, kalau di rumah sakit, ekstra itu maksudnya pemberian obat diluar jadwal atau tambahan obat yang dipakai sekali saja. Ekstra bukan berarti gratis, emangnya di toko?”
”Oo.., begitu to maksudnya, saya kira gratis, maaf sus, maklum aja udah tua”.
Setelah menyerahkan resep suster Diana segera kembali ke ruang perawat.
”Diana sendiri? Yang lain pada kemana?” tanya dr Agus.
”Berdua dok, Endang lagi keluar beli pulsa” jawab Diana sambil mencuci tangan.
Endang adalah teman akrabnya Diana, kemanapun mereka selalu berdua.
”Ada yang ga masuk?”
”Heni, anaknya panas, tadi baru datang langsung pulang. Ga ada yang gantiin sampai sekarang” jelas suster Diana.
”Kriing, kriing” telepon berbunyi.
”Kenanga, selamat malam, dengan suster Diana, ada yang bisa di bantu?” Sapa Diana di telepon.
”Selamat malam. Bisa berhubungan?” sapa yang di balik telepon.
”Berhubungan dengan siapa mas?” sahut Diana.
”Berhubungan dengan dr. Agus, ada?”
”Ada, sebentar ya”. Seraya menyerahkan gagang telepon ke dr. Agus. ”Dok ada telepon, kayaknya dari UGD. Dokter jaga dobel ya?”
”Iya, dr. Arin lagi keluar kota, nanti malam yang gantiin baru datang” jawab dokter Agus sambil menerima gagang telepon. ”Kenapa?” tanyanya di telepon.
”Pasien baru datang dok, KLL, multiple trauma, KUnya jelek”.
”Ya udah, tunggu” telepon segera ditutup.
Dokter Agus segera menuju ke UGD, tanpa basa-basi ke suster Diana lagi, dia langsung meninggalkannya begitu saja, pikirannya sudah tersita untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada pasien multiple trauma. Mungkin CKB, pendarahan intra abdomen, pneumo hematotorax, trauma tulang belakang, syok hemoragik, compartemen sindrom dan kemungkinan lain yang masih banyak. Sesampainya di ruang tindakan UGD, dr Agus segera memakai masker, kaca mata (google), apron plastik, sepatu boot dan sarung tangan karet, lalu memeriksa pasiennya yang tergolek di brankar sudah terpasang infus dan oksigen.
”Namanya siapa?” tanya dr.Agus ke pasiennya.
”Eh,..Eh...” pasiennya mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya.
”Tensi?”
”Delapanpuluh Empatpuluh” suster Lili menjawab.
”Nadi?”
”Seratus empat puluh”
”RR?”
”Tigapuluh enam, torakal”
”Infus?”
”RL loading, sudah masuk empatratus”
“Pasang dua line, jarum besar. Loading RL duaribu. Pasang Cateter, DKI” pinta dr. Agus.
Dengan sangat cekatan, dua perawat segera melakukan apa yang diinginkan dr. Agus.
Dr Agus segera melanjutkan pemeriksaannya. Dia memeriksa dada pasien yang mengembang simetris, tidak ada gerakan yang tertinggal, lalu mendengarkan suara paru, kedua paru sama, vesikuler, tanpa ronkhi. Lalu mendengarkan suara jantung, suara jantung satu dan dua normal, reguler, tidak ada bising. Saat memeriksa daerah perut dia menemukan jejas di perut kiri atas, membesar, tegang, nyeri bila ditekan.
”Pendarahan intra abdomen, periksa laboratorium lengkap, urine lengkap, jangan lupa Hb serial perjam” pinta dr Agus lagi.
”Harus konsul bedah, dokter jaganya siapa?” tanya dr. Agus.
”Dokter Asmon kayaknya dok” jawab suster Lili.
“Tolong dihubungi, saya mau konsul”
“Ya, dok”
“Keluarganya mana?”
Remaja yang tadi mengantarnya hanya bengong dengan diliputi rasa takut dan bingung.
“Masnya keluarganya?” tanya dokter Agus sambil menunjuk remaja tadi.
“Saya hanya temannya dok, saya belum pernah ke rumahnya” jawabnya.
“Nama pasiennya siapa?”
“Panggilannya sih Sableng, kalo nama aslinya saya kaga tahu”
“Lho, kamu gimana sih nama temennya ga tahu. Tahu nomer telpon rumahnya ga?”
“Ga tahu dok, saya hanya tahu nomer HP dia saja”
“Ada KTPnya?”
“KTP saya ?”
“KTP pasiennya dong”
“KTPnya tadi diambil ama Pak Polisi dok, katanya dia nanti mau kesini”
“Kalau nama kamu sendiri siapa?”
“Nama saya Ujang dok”
Sementara itu dokter Asmon sudah sampai di IGD.
“Selamat malam dok” Sapa dokter Agus. “ Ini dok, ada pasien Syok hemoragik, suspek pendarahan intra abdomen”.
Tanpa banyak bicara dokter Asmon langsung memeriksa si Sableng. Dia memang terkenal dokter yang pendiam, namun punya segudang pengalaman dan hampir sembilan puluh sembilan persen diagnosanya selalu tepat.
“Benar dok, ruptur lien, harus segera dibuka.Tolong kasih tahu keluarganya, siapkan darah minimal satu liter, kalo lebih ga apa-apa” dokter Asmon menjelaskan. “Urinnya berapa?”
“Belum ada dok” jawab dokter Agus.
“Loading dulu sampai dua liter, nanti lapor saya lagi” pinta dokter Asmon
Dokter Asmon langsung ngeluyur pergi, entah kemana, sepertinya ada suatu pekerjaan yang harus dikerjakannya, sementara itu dokter Agus beserta petugas IGD sibuk mengurusi si Sableng. Suster Mela mengambil sampel darah lalu menaruhnya di tiga buah tabung reaksi, ketiganya diberi label nama, kemudian menyerahkannya kepada Ujang.
“Yang tabung ini dan ini ke Laboratorium, yang ini ke PMI”
“Ya sus” jawabnya, sambil mengangguk.
“Ngerti ga?”
“Iya, yang ini ke PMI, yang ini dan ini ke Laboratorium” dia mengulangi apa yang sudah diterangkan suster Mela.
“Ya udah cepetan”

Sesampai di PMI.
“Selamat malam, permisi” si Ujang memberi salam. Namun belum ada jawaban dari dalam loket. “Selamat malam, permisi” kali ini lebih keras lagi.
“Ya pak, tunggu sebentar” sahut yang dari dalam loket. Seorang petugas keluar dari balik gordin. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan sangat ramah.
“Saya mau minta darah mbak”
“Mana pengantarnya?”
Ujang langsung menyerahkan pengantar dan tabung yang berisi sampel darah “Ini mbak”
“Darahnya mau diperiksa dulu, Masnya silakan duduk, nanti dipanggil lagi” sambil menunjuk ruang tunggu, kemudian dia langsung masuk ke ruang laboratorium lagi. Beginilah suasana PMI, kalau malam hari tidak ada petugas informasi atau resepsionis, yang ada hanya petugas laboratorium, sopir dan Satpam.
Tidak berapa lama kemudian.
“Keluarga Sableng” petugas yang tadi memanggil.
“Ya mbak” sahut Ujang.
“Ini benar, namanya Sableng?” tanya petugas agak heran.
“Itu nama panggilannya mbak, nama aslinya saya tidak tahu”.
“Ya sudah, siapapun namanya, begini mas. Darah ini hanya tinggal satu kantong, padahal mintanya empat kantong, jadi tolong mas mencari donor darah pengganti” petugas PMI menjelaskan. Donor darah pengganti adalah istilah untuk donor darah langsung, dimana darah dari pendonor langsung diberikan kepada pasien tertentu, berbeda dengan donor darah sukarela, diamana pendonor tidak tahu darahnya akan dipakai oleh siapa.
“Harus mencari kemana saya mbak?”
“Mas, mas siapa namanya?”
“Ujang”
“Mas Ujang bisa menghubungi keluarga atau teman-temannya”
“Saya ga tahu keluarganya mbak, saya hanya temannya, teman nongkrong aja”
“Terserah mas Ujang, kesiapa aja boleh yang penting dapat pendonor”
”Iya mbak, terimakasih”
”O iya, jangan lupa golongan darahnya AB”
”Iya mbak”
Ujang mengeluarkan HP dari sakunya, dan mencoba menghubungi teman-temannya. Tapi hasilnya nihil, beberapa temannya tak bisa dihubungi, dan beberapa golongan darahnya bukan AB. Memang susah mencari golongan darah AB.
”Mbak..., permisi” Ujang mencoba memanggil petugas.
”Kenapa lagi mas?” tanya petugas agak jengkel.
”Mbak siapa namanya?’ tanya ujang.
”Ningsih, emangnya kenapa?”
”Maaf mbak Ningsih, saya sudah coba menghubungi teman-teman saya, tapi ga ada yang bisa mendonorkan darahnya. Kebanyakan golongan darahnya O. Saya mo minta tolong ke mbak Ningsih untuk bantu cari pendonor. Bisa kan mbak?” Ujang meminta dengan sungguh-sungguh.
”Coba saya carikan dulu, mungkin ke PMR, KSR, TSR atau donor darah sukarela, mas Ujang tunggu saja”, jawab Ningsih memberi harapan kepada Ujang.
Untung saja malam ini permintaan darah lagi sepi, jadi para petugas PMI tidak terlalu sibuk melayani permintaan darah. Ningsih mulai sibuk membuka-buka beberapa buku daftar anggota pendonor darah sukarela dan beberapa kali dia menelepon. Hasilnya, Ningsih sudah mendapatkan dua calon pendonor darah, dan mereka bersedia untuk datang malam ini juga. Tapi masih butuh satu pendonor lagi. Ningsih mencoba menghubungi pak Iyan lewat telepon.
”Selamat malam, bisa bicara dengan pak Iyan?” sapa Ningsih di telepon.
”Selamat malam, ada,dari mana?”
”Dari PMI bu”
”Tunggu sebentar ya...”
Kebetulan sekali yang menerima telepon adalah isterinya pak Iyan.
” Pak, ada telepon tuh, dari PMI” Bu Iyan memanggil suaminya yang sedang menyiapkan pakaian untuk upacara penghargaan donor darah sukarela. Pak Iyan segera bergegas menuju ke meja telepon, dia sangat yakin ini pasti mengenai penghargaan terebut.
”Hallo, pak Iyan nih, dengan siapa?” pak Iyan bertanya di telepon.
”Selamat malam, dengan Ningsih pak, maaf mengganggu. Pak ada yang lagi butuh darah AB, pak Iyan bersedia ga untuk diambil darahnya malam ini?’ pinta Ningsih. Dia sebenarnya sudah tahu kalau besuk pagi pak Iyan akan donor darah di istana di depan presiden.
Pak Iyan berpikir sejenak, kalau dia donor sekarang, berarti besuk pagi dia tidak bisa mendonorkan darahnya di istana, padahal kesempatan itulah yang dia tunggu-tunggu selama sepuluh tahun ini.
”Maaf, mbak Ningsih, bukannya saya ga mau, coba cari yang lain ya”
Ningsih sudah bisa menebak jawaban pak Iyan, memang kesempatan itu sangat langka, dan Ningsihpun tidak mau mencoba mebujuk pak Iyan lebih lanjut.
”Ya udah pak, terimakasih. Selamat malam pak Iyan”
Sementara di UGD dr Agus beserta perawat sibuk merawat si sableng.
”RL sudah masuk berapa ?” tanya dokter agus.
”Baru tiga kolf dok” jawab suster Lili.
”Tensi”
”Sembilanpuluh enempuluh”
Dokter Agus agak lega karena tekanan darah si Sableng mulai membaik. Namun itu hanya sementara karena sumber pendarahan yang di dalam perut masih berlangsung.
Tiba-tiba dr Asmon sudah berada di depan dr Agus.
“Dok, mau dibuka sekarang?” tanya dr Agus kepada dr Asmon
Dokter Asmon terdiam, dia sedang memikirkan kemungkinan yang terjadi selanjutnya. Keadaan seperti ini menjadi dilema yang sangat berat bagi seorang dokter, pilihan yang serba tidak menyenangkan, bagai makan buah simalakama. Jika operasi ditunda pasien akan mati, jika dilakukan sekarang kemungkinan pasien bisa meninggal di atas meja operasi.
“Ada keluarganya?” tanya dr Asmon
“Ga ada dok, yang ada Cuma temennya, dia lagi ambil darah ke PMI” sahut Suster Mela.
“Kalau keluarganya datang, tolong nanti dijelaskan keadaan pasiennya” pinta dr Asmon.
“Baik dok” jawab suster Mela sambil menangguk.
Dr. Asmon berjalan menuju kamar operasi. Baru beberapa langkah dia berjalan, dia langsung berhenti matanya menatap keatas seolah sedang memikirkan sesuatu, dia langsung berbalik lagi menuju ke suster Mela.
”Sus, kalau darahnya sudah ada tolong kirim pasiennya ke kamar operasi” pinta dr. Asmon.
”Iya dok, tapi bagaimana dengan keluarganya dok? SIOnya juga belum” tanya suster Mela.
”Kalau kita nunggu keluarganya datang, pasiennya keburu mati. Kalau kita tangani sekarang Insya Allah masih ada harapan, kalaupun mati diatas meja operasi paling tidak sudah ada usaha dari kita untuk menyelamatkan dia. Dalam keadaan emergensi seperti ini tidak perlu ada SIO yang penting kita berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menyelamatkan pasien” dr. Asmon menjelaskan.
”Siap dok” jawab suster Mela.

____*____

Sementara di rumahnya pak Iyan sibuk membereskan baju yang akan dibawa ke istana. Dia sudah menyiapkan baju batik coklat dengan motif burung merak dan celana panjang warna krem. Dia juga mempaersiapkan stelan jas hitam dan baju putih beserta dasinya yang baru dia beli di Lippo Supermall.
”Buuuu...!” pak Iyan berteriak sambil mencari-cari sesuatu, satu persatu tas plastik yang ada didepannya dibuka.
”Buuu.. kaos kaki bapak kemana?” ternyata pak Iyan mencari kaos kaki Mundo kesayangannya.
”Ya disitu to pak, masa kaos kaki jalan-jalan” sahut bu Iyan sambil menunjuk tumpukan baju yang sudah dibereskannya.
”Ding dong ding dong!” Tiba-tiba bel pintu rumah berbunyi.
”Ada tamu pak, sana dilihat dulu” pinta bu Iyan. Hampir tiap hari rumah pak Iyan selalu kedatangan tamu dan tiap kali tamu datang hampir selalu mencari pak Iyan, makanya bu Iyan malas membukakan pintu.
Pak Iyan bergegas membukakan pintu, tidak biasanya kali ini yang berkunjung kerumahnya adalah seorang polisi berseragam lengkap.
”Selamat malam, saya Budiarto dari Polsek Jatiuwung, apakah benar ini rumahnya Andi?” pak Budi memperkenalkan diri.
”Benar Pak, ada apa Pak?” pak Iyan bertanya penuh kecemasan. Dalam pikirannya sudah berkecamuk ada apa dengan anaknya semata wayang. Mungkinkah anaknya beurusan dengan kejahatan? Narkoba?
”Bapak orang tuanya Andi?” tanya pak Budi,
”Iya pak, saya orang tuanya. Saya pak Iyan, Ada apa dengan anak saya pak?”
”Boleh saya masuk rumah?” pak Budi mencoba menenangkan suasana.
”Oh iya pak, silakan. Maaf sampai kelupaan mempersilakan masuk. Silakan duduk pak” pak Iyan mempersilakan pak Budi.
Pak Budi langsung mengambil tempat duduk.
“Begini pak Iyan, tadi sore anak bapak si Andi mengalami kecelakaan, tabrakan antara motor dengan motor, saat ini dia sedang dirawat di Rumah Sakit Umum”
“Sekarang keadaannya bagaimana pak?”
“Sebaiknya bapak langsung saja ke Rumah sakit, biar pihak rumah sakit yang langsung menjelaskan”
“Baik pak, terimakasih informasinya”
“Mengenai motornya, sudah kami amankan di kantor, bapak tidak usah kawatir, yang penting bapak ke rumah sakit saja dulu. Saya permisi pak, tolong tanda tangan disini pak, sebagai tanda bukti bahwa saya sudah berkunjung ke sini” pinta pak Budi sambil menyodorkan buku dan pulpen.
“Terimakasih pak, saya akan segera ke rumah sakit”
Pak Budi segera meninggalkan rumah pak Iyan.
Wajah pak Iyan tampak kalut, dia sangat sayang sekali pada Andi, maklum dia adalah anak satu-satunya.
”Bu, kita Ke rumah sakit sekarang, Andi kecelakaan, sekarang dirawat disana” pak Iyan memberitahu isterinya tanpa kata pengantar sedikitpun.
”Apa?! Andi kecelakaan? Bapak tahu dari mana?!” bu Iyan belum percaya.
”Tadi barusan Polisi kesini memberi tahu” pak Iyan menjelaskan.
”Andiiiii, anakku...” bu Iyan berteriak sekerasnya sambil menangis sejadi-jadinya.
Pak Iyan hanya bisa memeluknya erat-erat, mereka berdua sedang dirundung kesedihan dan kecemasan, mereka takut kehilangan Andi.

____*____
”Ini sus Darahnya” si Ujang menyerahkan tiga kantong darah kepada suster Mela.
”Cuma tiga?”
”Iya sus, di PMI memang Cuma ada tiga, tadi cari donor belum dapat”
”Ya udah, kamu jangan kemana-mana tungguin disini, kalau ada apa-apa kamu yang harus bantuin”
”Iya sus” si ujang tampak cemas dia tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat, dia hanya bisa memandangi wajah temannya yang semakin pucat.
” Dokter Agus, darahnya udah ada, mau dipasang sekarang?” suster Mela minta persetujuan dokter Agus.
”Tahun depan kali ya” dokter Agus masih bisa mengajak bercanda. ”Hubungi dr. Asmon, kasih tahu kalau darahnya udah ada” pinta dr Agus pada suster Lili.
Darah pun segera dipasang, tetes demi tetes darah mengalir kedalam tubuh si Sableng, sementara kebocoran darah di dalam perutnya tak akan berhenti sebelum dilakukan operasi. Perutnya tampak makin membesar, bibirnya semakin pucat, kesadarannya semakin menurun. Hanya terkadang masih terdengar rintihan kesakitan. Si Ujang hanya bisa mengusap-usap rambut temennya ini.
Sementara dr Asmon sudah siap di kamar operasi bersama dr Arul sebagai dokter anestesinya. Suster Mela segera membawa si Sableng menuju kamar Operasi.

Tidak lama kemudian pak Iyan sudah sampai di ruang tunggu IGD.
”Selamat malam pak, ada yang bisa saya bantu?” Seorang Satpam berseragam lengkap menyapa pak Iyan dengan sangat sopan, dia adalah pak Arnold, yang kebetulan sedang tugas jaga malam itu.
”Selamat malam pak, saya Arnold petugas Satpam Rumah sakit ini, saya siap membantu bapak” pak Arnold mengulangi salamnya.
Pak Iyan masih tampak kebingungan, dia mencari-cari sesuatu, melihat kesana kemari.
”Bapak mencari seseorang?” tanya pak Arnold.
”Eh... anak saya dirawat dimana pak ya?” pak Iyan masih tampak kebingungan.
”Namanya siapa, sakitnya apa, masuknya kapan”
”Namanya Andi, kata polisi dia kecelakaan lalu di bawa ke rumah sakit ini” pak Iyan mencoba menerangkan.
”Malam ini hanya ada satu pasien yang kecelakaan, namanya panggilannya Sableng, namanya lengkapnya belum tahu” pak Arnold menjelaskan.
”Sekarang pasiennya dimana pak, saya mau melihat, sapa tahu itu anak saya” pinta pak Iyan tak sabar.
”Saat ini pasiennya sedang dioperasi pak, mungkin bapak kenal dengan temannya, saat ini dia sedang menunggu di depan kamar operasi. Mari saya antar pak”
Pak Arnold mengajak pak Iyan beserta isterinya menuju ruang tunggu di depan kamar operasi.
”Ini pak temannya” kata pak Arnold sambil menunjuk si Ujang ”Bapak kenal dengan anak ini?”
Pak Iyan hanya menggelengkan kepalanya.
Tiba-tiba pak Budiarto datang dan langsung melihat ke arah pak Iyan
"Bapaknya Andi kan. Cepat sekali bapak sampai di sini? Sudah bertemu dengan Andi?"
Pak Iyan segera bergegas menghampiri pak Budiarto.
"Dimana anak saya pak?" tanyanya
Pak Budi bukannya langsung menjawab namun pandangannya langsung beralih menuju kearah Arnold. Pak Arnold langsung tanggap "Pasiennya sedang dioperasi, tadi datang dengan nama Sableng karena dia dan yang mengantar tidak menunjukkan identitas, katanya KTPnya masih dibawa polisi."
"Benar pak, KTP masih saya bawa" kata pak Budiarto seraya menunjukkan KTP Andi.
Tiba-tiba pintu kamar operasi terbuka.
"Keluarga Sableng..." seorang suster berseragam hijau memanggil.
"Iya sus" si Ujang menjawab "Nama aslinya Andi sus, dan ini orang tuanya"
"Bagaimana keadaan anak saya sus" Pak Iyan langsung bertanya
"Emmm... saat ini sedang dilakukan operasi, keadaannya lumayan berat, seandainya tadi ada satu kantong darah lagi mungkin keadaannya tak seberat ini" suster itu menjelaskan.
Seketika itu pula badan pak Iyan terasa lemas lunglai, ingatannya langsung tertuju pada Ningsih, petugas PMI yang menelponnya, mungkinkah darah itu untuk Andi anak satu-satunya. Penyesalan yang sangat dalam tampakpada raut mukanya yang mulai menua, air mata penyesalan mulai mengalir deras keluar dari sudut kedua matanya.
Semua sudah terjadi, hanya penyesalan yang tersisa.
Saat itu pula, pak Iyan langsung mendonorkan darahnya, dia tidak peduli lagi dengan undangan Presiden.
Andi dirawat selama 14 hari di Rumah Sakit, dan sembuh seperti sedia kala. Pak Iyan tetap menjadi donor darah yang rajin menyumbangkan darahnya.

TAMAT



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ARTIKEL APA YANG ANDA INGINKAN