Kamis, 20 Maret 2014

Wanita Berjilbab Biru

 

Di Balik Ruang Konseling


“Bu Sita” aku memanggil
“Selamat siang dok” seorang perempuan datang menghampiri mejaku dan langsung duduk didepanku, wanita yang baru berumur 31 tahun, masih tampak muda sekali, parasnya cantik, hidungnya kecil tapi indah, berjilbab biru sperti warna faforitku cocok sekali dengan warna baju gamisnya.
“Bu Sita ?” aku bertanya untuk meyakinkan.
“Saya dok” jawabnya sambil membetulkan posisi duduknya menghadapku. Hatiku tak bisa dibohongi aku sesaat terpesona oleh keindahannya.
“Selamat siang bu, saya dokter Dewa, ada yang bisa saya bantu” aku memperkenalkan diri, sudah menjadi kebiasaanku menyapa seperti itu jika menghadapi klien yang baru.
“Ini dok, kepala saya pusing, pusingnya gimana dok ya.... berat tapi agak pening, susah njelasinnya dok” keluhnya sambil menunjuk kepalanya
“Sudah berapa lama bu” aku melanjutkan pertanyaan
“Kira-kira sudah seminggu dok” jawabnya
“Sakit kepalanya gimana bu, terus menerus, kadang-kadang atau timbulnya kalau kena apa?”
“Terus-menerus dok, setiap hari, dari bangun tidur sampai tengah malam”
“Sampai tengah malam? Ibu tidurnya jam berapa?”
“Udah seminggu ini susah tidur dok, apa mungkin ini yang membuat saya pusing?” dia mencoba mengambil kesimpulan sendiri.
“Kemungkinan bisa keduanya bu... ibu pusing jadi susah tidur atau karena susah tidur ibu jadi pusing. Ibu maaf apa mungkin saat ini ada yang mengganggu perasaan atau pikiran ibu?” aku mencoba mengorek masalah yang mungkin sedang dihadapi ibu Sita.
“Ga ada dok, semuanya baik-baik saja” jawabnya
“Coba ibu inget-inget lagi mungkin ada suatu masalah dengan anak, suami, orang tua yang belum selesai atau ada pekerjaan yang belum selesai?”
“Ga ada dok, yakin ga ada masalah” dia mencoba meyakinkan.
“Ya udah kalau gitu, saya periksa dulu bu” aku memasang manset tensimeter di lengan kanannya dan melakukan pemeriksaan.
“Gimana dok, tinggi ya dok?” dia udah ga sabar ingin tahu ukuran tekanan darahnya
“Bagus bu, seratus duapuluh per delapanpuluh,normal kok” jawabku
“Tapi kenapa pusing terus ya dok” dia penasaran dengan pusingnya. Memang banyak orang awam yang menghubungkan tensi dengan sakit kepala. Memang ada hubungannya tapi tidak setiap kenaikan tensi selalu dibarengi dengan pusing dan sebaliknya.
“Ibu Sita...” aku coba menyapa dengan sepenuh keyakinanku “jika ibu ada masalah saya akan membantu semampu saya, saya akan menjaga rahasia, hanya ibu dan saya yang tahu, saya tidak akan cerita kepada siapapun termasuk kepada isteri atau anak saya, bagaimana bu?”
“Bener dok, ga ada masalah apa-apa, semuanya baik-baik saja” tegasnya
“Ya udah kalo gitu... mungkin saat ini ibu masih belum bisa cerita, mudah-mudahan lain kali sudah bisa cerita, kapanpun ibu mau, saya siap membantu” aku masih mencoba meyakinkan sambil menuliskan resep parasetamol dan alprazolam.
“Ibu sita, untuk sementara belum ketahuan penyebab pusingnya, untuk sementara saya kasih obat ini dulu, ada yang tga kali sehari dan ada yang sekali sehari yang diminum malam hari” saya menjelaskan sambil menyodorkan kertas resep ke hadapan bu Sita. Bu Sita tidak segera mengambilnya.


“Semoga cepet sembuh bu...” itulah yang selalu aku ucapkan saat mengakhiri konsultasi dan pemeriksaan.
Bu sita tampak tertunduk, dia tak segera beranjak meninggalkan tempat duduknya. Dia menghela napas panjang... lalu...
“Dok...” dia menyapaku lirih
“Iya bu... ada yang bisa saya bantu?” aku menwarkan diri
“Sebenarnya saya mau cerita, tapi saya malu, disini kan banyak orang”
Mohon maklum tempat praktekku adalah disebuah puskesmas, yang mana  privasi pasien saat pemeriksaan pasien kurang terjaga karena keterbatasan sarana dan tenaga.
“Kalau ibu bersedia cerita, sekarang ke ruangan di atas saja bu, disana nanti kita cuma berdua, ibu bersedia?”
Dia menganggukan kepalanya tanda setuju
“Silakan ibu ikuti saya” aku langsung berdiri dan segera menuju ruang konseling.
Tampak teteh Nurul melihatku sambil senyum-senyum simpul, entah apa maksudnya. Si Azis hanya berdehem “emh...emh!!!” aku juga ga tahu apa maksudnya, aku hanya memandang nya dan tersenyum kecil, dan berusaha untuk tidak terlihat oleh bu Sita.
Sampailah di ruang konseling, sebuah ruangan kecil dengan ukuran kira-kira dua setengah kali tiga meter, udaranya sejuk karena pakai pendingin ruangan, dipojok kanan ruangan terdapat sebuah meja dan tiga kursi untuk konsultasi, sementara di pojok kiri terdapat pot bunga aglonema jenis valentine yg begitu indah berpadu dengan warna tembok hijau apel menambah suasana semakin sejuk.
“Silakan duduk bu..” pintaku sambil aku sendiri mengambil tempat duduk bersebrangan dengan bu Sita.
“Terimakasih dok “ jawabnya.
Aku terdiam sejenak... memberi kesempatan bu Sita menyesuaikan diri dengan suasana ruangan.
“Bisa ibu ceritakan tentang masalah ibu..” aku memulai percakapan.
Bu Sita masih tampak menunduk, dia terdiam, menyusun kekuatan untuk menceritakan masalahnya.
“Begini dok...”
“Ya bu...” aku merubah posisi dudukku biar lebih bisa memperhatikan percakapan bu Sita.
“Maaf dok saya tadi udah bohong ama dokter..”
“Ga pa pa bu, saya bisa memahaminya kok... silakan teruskan...”
“Sebenarnya saya memang lagi ada masalah... suami saya meninggalkan rumah sudah seminggu.. gara-gara dia melihat saya sedang makan bersama dengan teman laki-laki saya di rumah makan..”
Ibu Sita terdiam sejenak...
“Dia marah-marah kepada saya, menuduh saya melakukan perselingkuhan” kedua mata bu Sita tampak mulai berkaca-kaca, aku segera mengambil sehelai tissue lalu memberikannya, dia menerimanya dan menghapus air matanya yang mulai berlinang di kedua pipinya.
“Padahal saya udah jelaskan ke dia bahwa laki-laki itu hanya teman biasa, teman lama yang sudah dua tahun ga ketemu, dan kebetulan pas ketemu dia langsung ngajak saya makan, saya ga mungkin menolak kan dok...?” bu Sita menjelaskan dan meminta persetujuan tindakannya. Aku sebagai konselor tidak bisa serta merta memberikan tanggapan setuju atau tidak setuju, jawaban yang aku berikan sebisa mungkin jawaban yang netral.
“Saya bisa memahahminya bu.... selanjutnya apa yang ibu lakukan..?” aku mencoba bersikap netral
“Dia marah sekali kepada saya, saya sudah sumpah-sumpah meyakinkan suami saya, tapi dia tetap tidak percaya, kemudian dia pergi, sampai sekarang belum ada kabarnya, menurut dokter apa yang harus saya lakukan ?”
“Ibu sudah berusaha menghubungi lewat HP?”
“Sudah dok,tapi Hpnya tidak pernah aktif”
“Sudah coba ke perusahaannya?”
“Saya  ga tahu tempat kerjanya dok, dia kerja di jakarta, tahunya Cuma itu saja” jawabnya
“Ibu sudah coba ke orangtuanya atau mungkin saudaranya?”
“Sudah dok, justru itu yang membuat saya semakin sakit, saudaranya juga menuduh saya melakukan perselingkuhan, dia sudah ga percaya sama sekali dengan saya, saya malah diperlakukan tidak baik oleh mereka, dan itu terjadi persis di depan anak saya yang umur tujuh tahun, saya sedih sekali dok... hik..hik..” ibu Sita mulai sesenggukan
“Saya bisa memahami perasaan ibu.... pasti sedih ditinggal suami... tapi apapun masalahnya ada jalan keluarnya” aku mencoba menghibur bu Sita, aku ingin sekali memegang tangan bu Sita untuk membantu menenangkannya, tapi niat itu aku urungkan, takut ada salah paham. Aku coba menepuk pundak bu Sita mudah-mudahan bisa membantunya
“Ibu yang sabar ya.....”
“Saya rasanya pengin bunuh diri dok, saya sudah ga kuat lagi dituduh seperti ini....” tangis bu Sita semakin menjadi-jadi, “saya sudah ga kuat dok.......”
Aku hanya bisa terdiam, berpikir apalagi yang harus kukatakan, menunggu sampai tangis bu Sita agak mereda, aku yakin ini adalah klimaks dari tangisnya.
“Ibu adalah wanita yang sangat luarbiasa, ibu sangat kuat menghadapi masalah seperti ini, buktinya sampai sekarang ibu masih mampu bertahan, dan saya sangat yakin ibu pasti sayang sekali dengan anak ibu.... dan ibu tidak akan meninggalkannya.. semua pasti akan ada jalan keluarnya...” aku coba menghiburnya
“Iya dok.... seandainya tidak ada anak saya itu mungkin saya sudah tidak ketemu dokter di sini...” dia ingin menunjukkan betapa berartinya anak itu baginya.
“Menurut dokter apalagi yang bisa saya lakukan dok?” lanjutnya
“Ibu sudah bicara dengan orang tua ibu atau saudara ibu?”
“Saya tidak berani dok, saya takut, orang tua saya sangat keras mendidik saya, jangankan saya makan bersama dengan laki-laki lain, baru kelihatan bicara agak dekat saja mereka sudah memarahi saya, saya tidak berani dok cerita kepada mereka” jawabnya
“Kalau saudara ibu yang lain bagaimana?”
“Saya juga tidak berani cerita kepada mereka”
“Kenapa?” secara tidak sengaja aku memotong pembicaraannya, sebenarnya hal itu tidak boleh dilakukan oleh seorang konselor, tapi mungkin aku terbawa emosi.
“Kalau saya cerita kepada mereka sama saja saya cerita kepada orang tua, karena mereka pasti akan memberitahu bapak dan ibu, tak mungkin dok saya cerita kepada mereka”
“Selanjutnya apa yang akan ibu lakukan?”
“Cukuplah saya ceria kepada dokter saja, saya percaya dokter bisa memegang rahasia ini, saya sudah merasa lega bisa bercerita seperti ini, saya ucapkan banyak terimakasih, dokter sudah meluangkan waktu untuk saya”
“Sama-sama bu, saya juga berterima kasih atas kepercayaan ibu terhadap saya, ibu jangan sungkan-sungkan, jika ada masalah silakan konsultasi ke sini”
Bu Sita lalu berdiri sambil mengulurkan tangannya, aku pun spontan mengulurkan tangan juga, sebuah jabat tangan yang begitu hangat. “makasih dok” dia mengucap terimakasih lagi.
“Sama-sama bu, semoga masalah ibu cepat terselesaikan” jawabku.
Kemudian dia berbalik dan menghilang di balik pintu. Resep itu juga masih dalam genggamanku, aku rasa dia sudah tidak membutuhkannya.
Jilbab biru itu.... masih melambai di pelupuk mataku.


Gambar : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgMTzRGoPHuS79twsL6uFGm-kzGf4oj24NqHJaYJhZ3j8cvIvQLsiwoYpAdhubhTBRnWisUzc2pq81S3iSr3y2Tl7q6uxboSvX1CGS3cJWckuRyDD6aQaSu1kMHXMOUPOZttc9OyB7sMdyk/s1600/biru.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ARTIKEL APA YANG ANDA INGINKAN