Jumat, 21 Maret 2014

BUKAN TEMAN BIASA

BUKAN TEMAN BIASA
Oleh. Dr. Djoko Santoso

“Bapak Zakaria” suaraku lantang memanggil salah seorang pasien di Puskesmas. Pak zakaria segera berdiri dari tempat duduknya dengan agak susah payah sambil berpegang pada tongkat yang selalu menemani kemanapun dia pergi, lalu berjalan perlahan menuju kamar periksa.
“Silakan duduk pak, gimana kabarnya?” aku menyapa.
“ Baik dok” jawbnya, sambil menggeser kursi plastik warna hijau lalu mendudukinya.
“Masih pusing, obat yang merah masih ada” pak Zakaria mengeluh, tanpa dipinta dia langsung mengulurkan tangan kanannya untuk dilakukan pemeriksaan tekanan darah. Pak Zakaria adalah salah seorang pasien yang paling rajin berkunjung ke Puskesmas, hampir seminggu dua kali, dia adalah pasien psikosis yang terkontrol, dia sudah hafal dengan obat yang diminumnya. Obat merah yang dia maksud adalah Chlorpromazine, dia merasa nyaman bila minum obat itu. Jika tidak minum dua hari saja dia merasa ada makhluk halus yang mendatangi, bahkan orang-orang yang sudah meninggal sering datang pada malam hari, dia bisa mengobrol dengan mereka sampai subuh, siang harinya dia akan merasa sangat mengantuk dan sangat mengganggu kegiatan sehari-harinya.
“Seratus delapanpuluh per seratus, masih tinggi pak”
“Minta obat darah tinggi ama obat pusing aja, obat yang merah masih ada”, pak zakaria meminta. Aku segera menuliskan resep untuknya.
Aku adalah seorang dokter yang sedang menyelesaikan tugas PTT (Pegawai Tidak Tetap) di salah satu Puskesmas di pinggir kota. Sudah dua tahun aku mengabdi, banyak kisah sukanya dibanding dukanya. Ada juga kisah yang lucu.
“Pak De !” seseorang memanggilku, aku segera menoleh kearahnya. Pak De adalah nama panggilanku, entah mengapa banyak staf yang suka dengan nama panggilanku itu, mungkin saja nama itu tercipta dari nama asliku DEWA BUANA, dengan awalan DEWA di depan nama lengkapku sehingga tercipta De, atau bisa juga Dokter Dewa, apa lagi asalku dari Solo rasanya pas banget nama PakDe itu untukku, yah itu bisa-bisanya mereka saja.
“Kenapa?” tanyaku.
Maya hanya memberi senyuman, entah apa maksudnya
“Kenapa ?!” nadaku sedikit tinggi.
Dia tetap saja tersenyum dengan sedikit menggoyang-goyangkan kepalanya. Aku cuekin aja, aku melanjutkan memeriksa pasien yang lainnya.
Tidak terasa waktu sudah jam 11.30 WIB, pasien sudah habis, hari ini lumayan banyak hampir 70 pasien yang aku periksa, capek, inilah kerja, melayani orang yang membutuhkan pertolongan.
“May, udah makan?”. Maya adalah salah seorang yang cukup dekat denganku, dia seorang perawat yang cukup rajin, sudah lebih dari satu tahun aku mengenalnya, walaupun lebih muda dariku tapi pemikirannya sudah bisa dikatakan sangat dewasa dan matang. Karenakedewasaannya itu dia paling enak kalau diajak berdiskusi, tapi sayang dibalik itu semua dia adalah isteri yang kurang beruntung. Suaminya seorang pengusaha yang lumayan sukses namun kurang perhatian kepada keluarga, dia sering mabuk, dugem, judi, nyawer dan tidak segan-segan membawa teman perempuannya ke rumah. Sebagai seorang isteri pasti hal itu sangat menyakitkan, tapi Maya tetap tegar menghadapi itu semua, dia tetap yakin bahwa suatu saat suaminya akan berubah.
“Belum” jawabnya singkat.
“Makan yuk” aku mengajaknya, sudah sering aku mengajaknya makan bersama, banyak yang mengira aku berpacaran dengannya, tapi bagiku anggapan itu tidak benar, kami hanya teman biasa. Biasa makan bersama, biasa berdiskusi bersama, biasa jalan bersama. Menurutku apa yang kami lakukan masih dalam batas kewajaran, tapi mengapa mereka beranggapan seperti itu?
“Ayo!” jawabnya singkat. Kami segera menuju rumah makan padang yang ada di belakang Puskesmas. Kami sering makan di sini, penjualnya bahkan udah hafal kesukaan kami. Maya paling suka makan dengan daging tunjang, kalau aku suka dengan paru goreng.

Waktu terus berlalu, dari hari ke hari aku semakin dekat dengan Maya, aku merasa lebih nyaman jika selalu bersamanya. Aku menemukan tempat berkeluh kesah, tempat memecahkan masalah, aku merasa mulai bergantung dengan kehadirannya. Aku mulai jatuh cinta padanya. Aku mulai berpikir, benar anggapan mereka yang menganggap aku berpacaran dengannya.Aku tahu apa yang aku lakukan adalah salah, tidak benar aku mencintai orang yang sudah dimiliki oleh orang lain. Tapi aku tak mampu melawan akal sehatku, aku egois, yang aku inginkan adalah bersamanya. Sampai saat ini aku tidak tahu apakah Maya juga merasakan hal yang sama, pernah ada keinginan mengungkapkan perasaanku padanya, tapi aku takut dia tersinggung aku takut kehilangan dia.

Suatu hari aku piket siang bersamanya, jam sudah menunjukkan jam 13.00, tapi masih ada beberapa pasien yang harus diperiksa, secara tak sengaja kami mengambil catatan status secara bersamaan, dan tanpa sengaja aku memegang tangannya, kami pun saling berpandangan, entah setan darimana yang merasuki otakku, aku sengaja memegang tangannya lebih erat, bukan penghindaran yang aku dapatkan tapi balasan genggaman yang lebih hangat, hatiku berdesir, jantungku berdetak cepat. Aku bingung, ini anugrah atau petaka? Aku ingin dekat dengannya, aku ingin memilikinya tapi........ “Kriing.....kring.......!” HP Maya berbunyi, dia segera melepaskan genggamannya lalu menjawab panggilan.
“Hallo, selamat siang”
“Selamat siang, bisa bicara dengan ibu Maya?”
“Iya, saya sendiri, dari mana Pak?”
“Saya pak Budi, Satpam Rumah Sakit Umum. Apakah benar ibu Maya suami dari pak Yanto?”
“Benar pak, ada apa dengan suami saya?!” tanya Maya tampak panik.
“Suami ibu kecelakaan, Ibu segera ke rumah sakit saja, segera, nanti biar dokter yang menjelaskan.”
Maya sudah tidak mampu menjawab, kepalanya serasa berputar, pandangannya gelap, HP yang ada digenggamannya terjatuh, perlahan tubuhnya lunglai, lalu “Bruk...! tubuhnya tersungkur ke lantai. Dengan sekuat tenaga aku segera mengangkatnya dan memindahkannya ke ruang KIA (Kesehatan Ibu Anak). Beberapa bidan dan perawat segera membantu mengurus Maya. Dari pembicaraan dia di telephone aku bisa menebak pasti ada apa-apa dengan keluarganya.
Aku segera mengambil HP Maya yang terjatuh, lalu aku mencoba melanjutkan pembicaraan.
“Maaf, saya dokter Dewa, saya bicara dengan siapa?”
“Saya pak Budi, dari RSU. Dokter Dewa siapanya bu Maya?”
“Bu Maya adalah teman dekat saya, ada apa dengan dia pak?”
“Begini dok, suami bu Maya tadi kecelakaan, saat ini sudah meninggal, jenazahnya masih ada di IGD RSU, diharapkan, keluarga segera ke RSU untuk mengurus jenazahnya”
“Iya pak, terimakasih” tanpa basa basi lagi aku segera menutup telephonnya.
Pikiranku semakin tak karuan, ini adalah kesempatanku untuk memilikinya. Saat dia sudah tidak ada yang memilikinya lagi. Aku memang egois, jahat, bahkan sangat jahat, saat Maya dirundung duka kehilangan suaminya, aku justru bersorak, keinginanku bakal segera terwujud untuk memiliki Maya seutuhnya.)*****
“Kriing....kriing....!” HP Maya berdering, aku segera mengangkatnya.
“Halo, selamat Siang”, sapaku
”Selamat siang, saya pak Budi dari RSU, dengan ibu Maya?”
”Bukan, saya dokter Dewa, temannya bu Maya”.
”Maaf dokter Dewa, tadi....tut...tut...tut” pembicaraan terputus, ternyata HP Maya mati, habis baterei.
Aku, Maya dan beberapa staf puskesmas segera berangkat ke RSU menggunakan ambulance puskesmas, dengan harapan bisa lebih cepat sampai. Sepanjang perjalanan Maya menangis tiada hentinya. Beberapa staf berusaha membujuk dan menghiburnya, namun tangis Maya tak bisa dibendung, air matanya terus saja mengalir. Begitu cintakah dia terhadap suaminya yang suka selingkuh itu? Aku jadi cemburu, seandainya saja cinta Maya itu untukku, pasti aku akan membalasnya dengan rasa cinta yang lebih besar dari itu.
Sementara itu di RSU, pak Budi terlihat sibuk, memencet-mencet telephon mukanya tampak panik, bolak-balik dia menghubungi, tapi yang dia dapat hanya nada sibuk atau suara operator seluler ”Telepon yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan area, cobalah beberapa saat lagi”.
Seasampainya di depan IGD RSU.
Aku segera turun menuju meja resepsionis yang bersebelahan langsung dengan meja Satpam.
”Selamat siang mbak” aku menyapa seorang resepsionis, perempuan muda yang lumayan manis.
”Selamat siang pak, saya Lika, resepsionis di sini, saya siap membantu bapak” suaranya begitu lembut, selembut raut wajahnya.
”Saya dokter Dewa, temannya ibu Maya, baru saja saya mendapat kabar kalau pak Yanto, suaminya bu Maya meninggal dunia di rumah sakit ini”
”Tunggu sebentar ya dok” Lika segera berjalan menuju meja Satpam untuk konfirmasi kabar tersebut. Kemudian mereka bersama menuju ke arahku.
”Selamat siang dok, saya pak Budi yang tadi memberitahu dokter lewat telepon” pak Budi memperkaenalkan diri.
”Maaf dok, ada sedikit misinformasi yang tadi saya sampaikan, saya mencoba menghubungi HP bu Maya berkali-kali tapi HPnya tidak aktif’ dia melanjutkan, aku mencoba untuk bersabar sampai pak Budi menyelesaikan pembicaraannya, dari nada pembicaraanya dan raut wajahnya dia tampak sungguh-sungguh menyesali apa yang telah dia sampaikan.
”Begini dok, tadi barusan ada dua pasien yang masuk, yang satu bernama Ariyanto dan satunya lagi Hariyanto, ternyata yang meninggal adalah bapak Ariyanto, bukan bapak Hariyanto suaminya bu Maya”
Mendengar penjelasan itu, aku agak kesal tapi dibalik kekesalan itu ada berita yang bisa membahagikan Maya, paling tidak suami Maya masih hidup.
”Dimana pak Hariyanto sekarang?” aku tak sabar ingin segera melihat kondisi pak Yanto. Kemudian pak Budi membawa kami ke ruang observasi. Di ruang itu memang ada dua pasien, yang satu adalah Aryanto, jasadnya sudah ditutup kain dari ujung jari kaki sampai ujung rambut, menandakan bahwa pasien ini sudah meninggal, sementara di sebelahnya ada pak Yanto suami Maya, beberapa bagian tubuhnya dibalut kasa putih dan pada bagian paha dibidai dan tampak darah segar masih menetes. Di hidung tampak selang oksigen dan selang NGT terpasang, ada cairan kehitaman keluar dari selang NGT. Menurut penjelasan dokter jaga IGD, pak Yanto mengalami multiple trauma, yang terberat adalah cidera kepala dan patah tulang belakang, yang nantinya akan menyebabkan kelumpuhan permanen. Hari ini pak Yanto harus segera menjalani operasi dan selanjutnya akan dirawat di bagian ICU.

Sudah dua minggu berlalu, Maya belum masuk kerja, aku merasa sangat kesepian berada di puskesmas. Setiap pulang dari puskesmas aku selalu menyempatkan diri berkunjung ke rumah sakit menemui Maya.
”May, Bapak sudah menanyakan kamu”
Bapak adalah sebutan untuk kepala puskesmas di tempat kerjaku, Maya pasti sudah tahu apa maksud pembicaraanku.
”Iya, Insya Allah minggu depan aku mulai masuk” jawab Maya.
Mendengar jawaban seperti itu aku sangat senang, berarti minggu depan aku sudah bisa bersama lagi dengan Maya, semangat kerjaku kembali berkobar.

Maya mulai masuk kerja, dia tetap tampak cantik seperti biasanya, tidak tampak kesedihan dari roman wajahnya, senyumnya selalu menyambut siapa saja yang dia temui, itulah Maya, seorang wanita yang matang, lelaki normal pasti ingin memilikinya. Bersama Maya hari berlalu begitu cepat.
”May, makan yuk” aku mengajaknya penuh semangat.
”Maaf dok, aku masih kenyang, nanti aja makan di rumah sakit” jawabnya.
Tidak seperti biasanya, baru kali ini Maya menolak ajakanku, tapi aku bisa mengerti dan memahami perasannya. Aku pun mengurungkan niatku untuk makan siang.
”Kapan mau ke rumah sakitnya?” tanyaku.
”Sebentar lagi dok, jam satuan, nunggu adik dulu, dia mau jemput” jawabnya.
Nunggu adik? Berarti aku tidak bisa mengantarnya, aku tidak bisa bersamanya. Aku mencoba untuk merayunya.
”Bagaimana kalau saya antar saja? Ga pa pa kan?”
”Boleh aja” jawabnya. Sebuah jawaban yang sangat aku nantikan.
Maya segera menghubungi adiknya agar dia tidak perlu menjemputnya ke puskesmas.
Sekitar jam satuan aku berangkat ke rumah sakit bersama Maya. Selama di dalam mobil kami lebih banyak diam, tiba-tiba...
”Dok, boleh Maya bertanya?” sambil menoleh kearahku. Ini adalah hal yang janggal bagiku, tiba-tiba Maya bertanya seperti itu, pasti ada sesuatu yang sangat penting.
”Emh...emh...boleh” jawabku.
”Dokter jangan marah ya? Kalau pertanyaanku agak aneh”
”Apaan sih... aku ga akan marah, swear” aku penasaran.
”Dokter suka sama saya?”. sebuah pertanyaan yang sangat sederhana tapi sangat menusuk, sebuah pertanyaan dengan jawaban yang sangat susah untuk diungkapkan. Aku terdiam mencoba untuk mencari jawaban yang mudah untuk diungkapkan, namun lidahku serasa terkunci, mulutku terbungkam oleh perasanku. Aku menghela nafas panjang....
”Ya” jawabku singkat.
Aku menoleh ke arahnya melihat bagaimana reaksi Maya dengan jawabanku. Matanya tampak tajam menatap ke depan jauh, perlahan guliran air menetes dari sudut matanya dan sebuah hembusan nafas panjang keluar dari hidungnya. Ada sebuah perasaan yang berat sedang dialaminya. Akupun terdiam aku tak berani lagi berkata-kata, perasannku terasa lega namun hatiku juga ikut bergolak apa gerangan yang sedang dipikirkan Maya.apakah dia senang dengan jawabanku atau sebaliknya, hanya Maya yang tahu. Sesampai di rumah sakit aku dan Maya segera menuju ke ruang ICU, tanpa ada kata-kata, kami terlarut dalam pikiran masing-masing. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang, waktu berkunjung sudah habis, untungnya aku sudah kenal baik dengan perawat jaga yang ada di ICU sehingga kami masih bisa masuk walaupun hanya diberi waktu sepuluh menit.
Pak Yanto tampak tergolek tak berdaya, koma, tampak kasa putih melingkar di kepalanya, kabel di sana sini, juga selang infus yang menancap di kedua tangannya, sebuah selang besar terpasang di mulutnya terhubung ke mesin ventilator. Maya mengusap wajah pak Yanto dengan penuh kelembutan, kembali air mata menetes di pipinya yang putih.
”Seandainya yang terbaring ini adalah isteri dokter, apa yang dokter lakukan?” tiba-tiba Maya melontarkan pertanyaan yang tidak pernah aku duga. Aku terdiam sejenak.
”Maksud Maya apa?” aku malah balik bertanya. Maya menatap ke arahku.
”Seandainya isteri dokter sakit seperti ini, apakah dokter masih setia dengannya?” Maya menjelaskan lebih detail. Sebuah pertanyaan yang langsung menancap di lubuk hati yang paling dalam. Aku masih terdiam, sebuah pertanyaan yang sangat dilematis bagiku, demi Maya, apapun yang akan terjadi aku harus jujur menjawabnya.
”Ya, aku akan tetap setia” perlahan tapi pasti aku menjawab pertanyaan Maya dengan mantap.
”Dokter Dewa adalah orang terbaik yang pernah akau kenal, aku yakin isteri dokter pasti juga setia dengan dokter, jangan sia-siakan kesetiannya, Tuhan pasti sudah memberi yang terbaik untuk dokter, dan Maya juga yakin Tuhan memberi jodoh yang terbaik untuk Maya, walaupun di mata manusia ini semua tidak adil, ini adalah jalan hidup Maya, Maya ikhlas menjalaninya” Sebuah pernyataan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, Maya begitu berani dan tegas mengatakannya, seolah-olah dia sedang menyesali nasibnya dan dia ingin menyatakan kesetiaannya pada suaminya.
”Maksud Maya apa?” aku mencoba menggali lebih jauh apa yang dimaksud Maya.
”Maya sudah dewasa, dokter juga sudah dewasa, dokter suka sama saya, saya juga suka sama dokter, menurut dokter apakah ini halal untuk kita..?"
Aku terdiam, pikiranku berkecamuk, berputar untuk membenarkan perasaanku kepadanya namun dalam hati kecilku dalam keimananku yang lemah ini masih tersisip kebenaran yang tak mungkin aku ingkari. pertanyaan itu aku ulangi dalam hatiku. Halal....??? itulah perrtanyaan yang terngiang di dalam otakku.
Aku masih mencoba menyusun kata terbaik untuk menjawabnya, aku tertunduk masih tak mampu tuk berkata-kata.
Dalam hening hanya suara oksigen dan mesin ventilator yang terus bersuara. Suara Adzan Ashar bergema dari masjid Ihdinashirotholmustaqim seolah-olah menjadi penyelamatku karena aku belum mampu menjawabnya.
"Sholat yuk" aku mengajaknya.
Maya tak menjawab, dia langsung berdiri sambil mengusap airmata yang sejak tadi mengalir perlahan dari ujung-ujung matanya.
Aku bersimpuh di dalam masjid, merenungkan semua kejadian yang aku lalui bersama maya. Semua begitu indah, semua begitu yakin. Aku mnenemukan wanita yang begitu tegar, begitu istimewa. harus aku akui Maya bukan teman biasa.

______________
Sumber gambar :  https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjEObonAx39ov8VOmcibxRb9TujTj5naYZ3r3rTxhq5PAPCjOKnkoG2dDfLYAxN8VsbGTizFRSdtJmkmVvMGOUHNfjdufzUb_MjF6GgwO4l8aLhuqrYBnTNQsW0pjQ201xVOBN0QIOcXMo/s1600/cantik-berjilbab-2.jpg


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ARTIKEL APA YANG ANDA INGINKAN