BUKAN TEMAN BIASA
Oleh. Dr. Djoko Santoso
“Bapak
Zakaria” suaraku lantang memanggil salah seorang pasien di Puskesmas.
Pak zakaria segera berdiri dari tempat duduknya dengan agak susah payah
sambil berpegang pada tongkat yang selalu menemani kemanapun dia pergi,
lalu berjalan perlahan menuju kamar periksa.
“Silakan duduk pak, gimana kabarnya?” aku menyapa.
“ Baik dok” jawbnya, sambil menggeser kursi plastik warna hijau lalu mendudukinya.
“Masih
pusing, obat yang merah masih ada” pak Zakaria mengeluh, tanpa dipinta
dia langsung mengulurkan tangan kanannya untuk dilakukan pemeriksaan
tekanan darah. Pak Zakaria adalah salah seorang pasien yang paling rajin
berkunjung ke Puskesmas, hampir seminggu dua kali, dia adalah pasien
psikosis yang terkontrol, dia sudah hafal dengan obat yang diminumnya.
Obat merah yang dia maksud adalah Chlorpromazine, dia merasa nyaman bila
minum obat itu. Jika tidak minum dua hari saja dia merasa ada makhluk
halus yang mendatangi, bahkan orang-orang yang sudah meninggal sering
datang pada malam hari, dia bisa mengobrol dengan mereka sampai subuh,
siang harinya dia akan merasa sangat mengantuk dan sangat mengganggu
kegiatan sehari-harinya.
“Seratus delapanpuluh per seratus, masih tinggi pak”
“Minta
obat darah tinggi ama obat pusing aja, obat yang merah masih ada”, pak
zakaria meminta. Aku segera menuliskan resep untuknya.
Aku adalah
seorang dokter yang sedang menyelesaikan tugas PTT (Pegawai Tidak Tetap)
di salah satu Puskesmas di pinggir kota. Sudah dua tahun aku mengabdi,
banyak kisah sukanya dibanding dukanya. Ada juga kisah yang lucu.
“Pak
De !” seseorang memanggilku, aku segera menoleh kearahnya. Pak De
adalah nama panggilanku, entah mengapa banyak staf yang suka dengan nama
panggilanku itu, mungkin saja nama itu tercipta dari nama asliku DEWA
BUANA, dengan awalan DEWA di depan nama lengkapku sehingga tercipta De,
atau bisa juga Dokter Dewa, apa lagi asalku dari Solo rasanya pas banget
nama PakDe itu untukku, yah itu bisa-bisanya mereka saja.
“Kenapa?” tanyaku.
Maya hanya memberi senyuman, entah apa maksudnya
“Kenapa ?!” nadaku sedikit tinggi.
Dia
tetap saja tersenyum dengan sedikit menggoyang-goyangkan kepalanya. Aku
cuekin aja, aku melanjutkan memeriksa pasien yang lainnya.
Tidak
terasa waktu sudah jam 11.30 WIB, pasien sudah habis, hari ini lumayan
banyak hampir 70 pasien yang aku periksa, capek, inilah kerja, melayani
orang yang membutuhkan pertolongan.
“May, udah makan?”. Maya
adalah salah seorang yang cukup dekat denganku, dia seorang perawat yang
cukup rajin, sudah lebih dari satu tahun aku mengenalnya, walaupun
lebih muda dariku tapi pemikirannya sudah bisa dikatakan sangat dewasa
dan matang. Karenakedewasaannya itu dia paling enak kalau diajak
berdiskusi, tapi sayang dibalik itu semua dia adalah isteri yang kurang
beruntung. Suaminya seorang pengusaha yang lumayan sukses namun kurang
perhatian kepada keluarga, dia sering mabuk, dugem, judi, nyawer dan
tidak segan-segan membawa teman perempuannya ke rumah. Sebagai seorang
isteri pasti hal itu sangat menyakitkan, tapi Maya tetap tegar
menghadapi itu semua, dia tetap yakin bahwa suatu saat suaminya akan
berubah.
“Belum” jawabnya singkat.
“Makan yuk” aku
mengajaknya, sudah sering aku mengajaknya makan bersama, banyak yang
mengira aku berpacaran dengannya, tapi bagiku anggapan itu tidak benar,
kami hanya teman biasa. Biasa makan bersama, biasa berdiskusi bersama,
biasa jalan bersama. Menurutku apa yang kami lakukan masih dalam batas
kewajaran, tapi mengapa mereka beranggapan seperti itu?
“Ayo!”
jawabnya singkat. Kami segera menuju rumah makan padang yang ada di
belakang Puskesmas. Kami sering makan di sini, penjualnya bahkan udah
hafal kesukaan kami. Maya paling suka makan dengan daging tunjang, kalau
aku suka dengan paru goreng.
Waktu terus berlalu, dari
hari ke hari aku semakin dekat dengan Maya, aku merasa lebih nyaman
jika selalu bersamanya. Aku menemukan tempat berkeluh kesah, tempat
memecahkan masalah, aku merasa mulai bergantung dengan kehadirannya. Aku
mulai jatuh cinta padanya. Aku mulai berpikir, benar anggapan mereka
yang menganggap aku berpacaran dengannya.Aku tahu apa yang aku lakukan
adalah salah, tidak benar aku mencintai orang yang sudah dimiliki oleh
orang lain. Tapi aku tak mampu melawan akal sehatku, aku egois, yang aku
inginkan adalah bersamanya. Sampai saat ini aku tidak tahu apakah Maya
juga merasakan hal yang sama, pernah ada keinginan mengungkapkan
perasaanku padanya, tapi aku takut dia tersinggung aku takut kehilangan
dia.
Suatu hari aku piket siang bersamanya, jam sudah
menunjukkan jam 13.00, tapi masih ada beberapa pasien yang harus
diperiksa, secara tak sengaja kami mengambil catatan status secara
bersamaan, dan tanpa sengaja aku memegang tangannya, kami pun saling
berpandangan, entah setan darimana yang merasuki otakku, aku sengaja
memegang tangannya lebih erat, bukan penghindaran yang aku dapatkan tapi
balasan genggaman yang lebih hangat, hatiku berdesir, jantungku
berdetak cepat. Aku bingung, ini anugrah atau petaka? Aku ingin dekat
dengannya, aku ingin memilikinya tapi........ “Kriing.....kring.......!”
HP Maya berbunyi, dia segera melepaskan genggamannya lalu menjawab
panggilan.
“Hallo, selamat siang”
“Selamat siang, bisa bicara dengan ibu Maya?”
“Iya, saya sendiri, dari mana Pak?”
“Saya pak Budi, Satpam Rumah Sakit Umum. Apakah benar ibu Maya suami dari pak Yanto?”
“Benar pak, ada apa dengan suami saya?!” tanya Maya tampak panik.
“Suami ibu kecelakaan, Ibu segera ke rumah sakit saja, segera, nanti biar dokter yang menjelaskan.”
Maya
sudah tidak mampu menjawab, kepalanya serasa berputar, pandangannya
gelap, HP yang ada digenggamannya terjatuh, perlahan tubuhnya lunglai,
lalu “Bruk...! tubuhnya tersungkur ke lantai. Dengan sekuat tenaga aku
segera mengangkatnya dan memindahkannya ke ruang KIA (Kesehatan Ibu
Anak). Beberapa bidan dan perawat segera membantu mengurus Maya. Dari
pembicaraan dia di telephone aku bisa menebak pasti ada apa-apa dengan
keluarganya.
Aku segera mengambil HP Maya yang terjatuh, lalu aku mencoba melanjutkan pembicaraan.
“Maaf, saya dokter Dewa, saya bicara dengan siapa?”
“Saya pak Budi, dari RSU. Dokter Dewa siapanya bu Maya?”
“Bu Maya adalah teman dekat saya, ada apa dengan dia pak?”
“Begini
dok, suami bu Maya tadi kecelakaan, saat ini sudah meninggal,
jenazahnya masih ada di IGD RSU, diharapkan, keluarga segera ke RSU
untuk mengurus jenazahnya”
“Iya pak, terimakasih” tanpa basa basi lagi aku segera menutup telephonnya.
Pikiranku
semakin tak karuan, ini adalah kesempatanku untuk memilikinya. Saat dia
sudah tidak ada yang memilikinya lagi. Aku memang egois, jahat, bahkan
sangat jahat, saat Maya dirundung duka kehilangan suaminya, aku justru
bersorak, keinginanku bakal segera terwujud untuk memiliki Maya
seutuhnya.)*****
“Kriing....kriing....!” HP Maya berdering, aku segera mengangkatnya.
“Halo, selamat Siang”, sapaku
”Selamat siang, saya pak Budi dari RSU, dengan ibu Maya?”
”Bukan, saya dokter Dewa, temannya bu Maya”.
”Maaf dokter Dewa, tadi....tut...tut...tut” pembicaraan terputus, ternyata HP Maya mati, habis baterei.
Aku,
Maya dan beberapa staf puskesmas segera berangkat ke RSU menggunakan
ambulance puskesmas, dengan harapan bisa lebih cepat sampai. Sepanjang
perjalanan Maya menangis tiada hentinya. Beberapa staf berusaha membujuk
dan menghiburnya, namun tangis Maya tak bisa dibendung, air matanya
terus saja mengalir. Begitu cintakah dia terhadap suaminya yang suka
selingkuh itu? Aku jadi cemburu, seandainya saja cinta Maya itu untukku,
pasti aku akan membalasnya dengan rasa cinta yang lebih besar dari itu.
Sementara
itu di RSU, pak Budi terlihat sibuk, memencet-mencet telephon mukanya
tampak panik, bolak-balik dia menghubungi, tapi yang dia dapat hanya
nada sibuk atau suara operator seluler ”Telepon yang anda hubungi sedang
tidak aktif atau berada diluar jangkauan area, cobalah beberapa saat
lagi”.
Seasampainya di depan IGD RSU.
Aku segera turun menuju meja resepsionis yang bersebelahan langsung dengan meja Satpam.
”Selamat siang mbak” aku menyapa seorang resepsionis, perempuan muda yang lumayan manis.
”Selamat siang pak, saya Lika, resepsionis di sini, saya siap membantu bapak” suaranya begitu lembut, selembut raut wajahnya.
”Saya
dokter Dewa, temannya ibu Maya, baru saja saya mendapat kabar kalau pak
Yanto, suaminya bu Maya meninggal dunia di rumah sakit ini”
”Tunggu
sebentar ya dok” Lika segera berjalan menuju meja Satpam untuk
konfirmasi kabar tersebut. Kemudian mereka bersama menuju ke arahku.
”Selamat siang dok, saya pak Budi yang tadi memberitahu dokter lewat telepon” pak Budi memperkaenalkan diri.
”Maaf
dok, ada sedikit misinformasi yang tadi saya sampaikan, saya mencoba
menghubungi HP bu Maya berkali-kali tapi HPnya tidak aktif’ dia
melanjutkan, aku mencoba untuk bersabar sampai pak Budi menyelesaikan
pembicaraannya, dari nada pembicaraanya dan raut wajahnya dia tampak
sungguh-sungguh menyesali apa yang telah dia sampaikan.
”Begini
dok, tadi barusan ada dua pasien yang masuk, yang satu bernama Ariyanto
dan satunya lagi Hariyanto, ternyata yang meninggal adalah bapak
Ariyanto, bukan bapak Hariyanto suaminya bu Maya”
Mendengar
penjelasan itu, aku agak kesal tapi dibalik kekesalan itu ada berita
yang bisa membahagikan Maya, paling tidak suami Maya masih hidup.
”Dimana
pak Hariyanto sekarang?” aku tak sabar ingin segera melihat kondisi pak
Yanto. Kemudian pak Budi membawa kami ke ruang observasi. Di ruang itu
memang ada dua pasien, yang satu adalah Aryanto, jasadnya sudah ditutup
kain dari ujung jari kaki sampai ujung rambut, menandakan bahwa pasien
ini sudah meninggal, sementara di sebelahnya ada pak Yanto suami Maya,
beberapa bagian tubuhnya dibalut kasa putih dan pada bagian paha dibidai
dan tampak darah segar masih menetes. Di hidung tampak selang oksigen
dan selang NGT terpasang, ada cairan kehitaman keluar dari selang NGT.
Menurut penjelasan dokter jaga IGD, pak Yanto mengalami multiple trauma,
yang terberat adalah cidera kepala dan patah tulang belakang, yang
nantinya akan menyebabkan kelumpuhan permanen. Hari ini pak Yanto harus
segera menjalani operasi dan selanjutnya akan dirawat di bagian ICU.
Sudah
dua minggu berlalu, Maya belum masuk kerja, aku merasa sangat kesepian
berada di puskesmas. Setiap pulang dari puskesmas aku selalu
menyempatkan diri berkunjung ke rumah sakit menemui Maya.
”May, Bapak sudah menanyakan kamu”
Bapak adalah sebutan untuk kepala puskesmas di tempat kerjaku, Maya pasti sudah tahu apa maksud pembicaraanku.
”Iya, Insya Allah minggu depan aku mulai masuk” jawab Maya.
Mendengar
jawaban seperti itu aku sangat senang, berarti minggu depan aku sudah
bisa bersama lagi dengan Maya, semangat kerjaku kembali berkobar.
Maya
mulai masuk kerja, dia tetap tampak cantik seperti biasanya, tidak
tampak kesedihan dari roman wajahnya, senyumnya selalu menyambut siapa
saja yang dia temui, itulah Maya, seorang wanita yang matang, lelaki
normal pasti ingin memilikinya. Bersama Maya hari berlalu begitu cepat.
”May, makan yuk” aku mengajaknya penuh semangat.
”Maaf dok, aku masih kenyang, nanti aja makan di rumah sakit” jawabnya.
Tidak
seperti biasanya, baru kali ini Maya menolak ajakanku, tapi aku bisa
mengerti dan memahami perasannya. Aku pun mengurungkan niatku untuk
makan siang.
”Kapan mau ke rumah sakitnya?” tanyaku.
”Sebentar lagi dok, jam satuan, nunggu adik dulu, dia mau jemput” jawabnya.
Nunggu adik? Berarti aku tidak bisa mengantarnya, aku tidak bisa bersamanya. Aku mencoba untuk merayunya.
”Bagaimana kalau saya antar saja? Ga pa pa kan?”
”Boleh aja” jawabnya. Sebuah jawaban yang sangat aku nantikan.
Maya segera menghubungi adiknya agar dia tidak perlu menjemputnya ke puskesmas.
Sekitar jam satuan aku berangkat ke rumah sakit bersama Maya. Selama di dalam mobil kami lebih banyak diam, tiba-tiba...
”Dok,
boleh Maya bertanya?” sambil menoleh kearahku. Ini adalah hal yang
janggal bagiku, tiba-tiba Maya bertanya seperti itu, pasti ada sesuatu
yang sangat penting.
”Emh...emh...boleh” jawabku.
”Dokter jangan marah ya? Kalau pertanyaanku agak aneh”
”Apaan sih... aku ga akan marah, swear” aku penasaran.
”Dokter
suka sama saya?”. sebuah pertanyaan yang sangat sederhana tapi sangat
menusuk, sebuah pertanyaan dengan jawaban yang sangat susah untuk
diungkapkan. Aku terdiam mencoba untuk mencari jawaban yang mudah untuk
diungkapkan, namun lidahku serasa terkunci, mulutku terbungkam oleh
perasanku. Aku menghela nafas panjang....
”Ya” jawabku singkat.
Aku
menoleh ke arahnya melihat bagaimana reaksi Maya dengan jawabanku.
Matanya tampak tajam menatap ke depan jauh, perlahan guliran air menetes
dari sudut matanya dan sebuah hembusan nafas panjang keluar dari
hidungnya. Ada sebuah perasaan yang berat sedang dialaminya. Akupun
terdiam aku tak berani lagi berkata-kata, perasannku terasa lega namun
hatiku juga ikut bergolak apa gerangan yang sedang dipikirkan
Maya.apakah dia senang dengan jawabanku atau sebaliknya, hanya Maya yang
tahu. Sesampai di rumah sakit aku dan Maya segera menuju ke ruang ICU,
tanpa ada kata-kata, kami terlarut dalam pikiran masing-masing. Jam
sudah menunjukkan pukul dua siang, waktu berkunjung sudah habis,
untungnya aku sudah kenal baik dengan perawat jaga yang ada di ICU
sehingga kami masih bisa masuk walaupun hanya diberi waktu sepuluh
menit.
Pak Yanto tampak tergolek tak berdaya, koma, tampak kasa
putih melingkar di kepalanya, kabel di sana sini, juga selang infus yang
menancap di kedua tangannya, sebuah selang besar terpasang di mulutnya
terhubung ke mesin ventilator. Maya mengusap wajah pak Yanto dengan
penuh kelembutan, kembali air mata menetes di pipinya yang putih.
”Seandainya
yang terbaring ini adalah isteri dokter, apa yang dokter lakukan?”
tiba-tiba Maya melontarkan pertanyaan yang tidak pernah aku duga. Aku
terdiam sejenak.
”Maksud Maya apa?” aku malah balik bertanya. Maya menatap ke arahku.
”Seandainya
isteri dokter sakit seperti ini, apakah dokter masih setia dengannya?”
Maya menjelaskan lebih detail. Sebuah pertanyaan yang langsung menancap
di lubuk hati yang paling dalam. Aku masih terdiam, sebuah pertanyaan
yang sangat dilematis bagiku, demi Maya, apapun yang akan terjadi aku
harus jujur menjawabnya.
”Ya, aku akan tetap setia” perlahan tapi pasti aku menjawab pertanyaan Maya dengan mantap.
”Dokter
Dewa adalah orang terbaik yang pernah akau kenal, aku yakin isteri
dokter pasti juga setia dengan dokter, jangan sia-siakan kesetiannya,
Tuhan pasti sudah memberi yang terbaik untuk dokter, dan Maya juga yakin
Tuhan memberi jodoh yang terbaik untuk Maya, walaupun di mata manusia
ini semua tidak adil, ini adalah jalan hidup Maya, Maya ikhlas
menjalaninya” Sebuah pernyataan yang tak pernah aku bayangkan
sebelumnya, Maya begitu berani dan tegas mengatakannya, seolah-olah dia
sedang menyesali nasibnya dan dia ingin menyatakan kesetiaannya pada
suaminya.
”Maksud Maya apa?” aku mencoba menggali lebih jauh apa yang dimaksud Maya.
”Maya
sudah dewasa, dokter juga sudah dewasa, dokter suka sama saya, saya
juga suka sama dokter, menurut dokter apakah ini halal untuk kita..?"
Aku
terdiam, pikiranku berkecamuk, berputar untuk membenarkan perasaanku
kepadanya namun dalam hati kecilku dalam keimananku yang lemah ini masih
tersisip kebenaran yang tak mungkin aku ingkari. pertanyaan itu aku
ulangi dalam hatiku. Halal....??? itulah perrtanyaan yang terngiang di
dalam otakku.
Aku masih mencoba menyusun kata terbaik untuk menjawabnya, aku tertunduk masih tak mampu tuk berkata-kata.
Dalam
hening hanya suara oksigen dan mesin ventilator yang terus bersuara.
Suara Adzan Ashar bergema dari masjid Ihdinashirotholmustaqim
seolah-olah menjadi penyelamatku karena aku belum mampu menjawabnya.
"Sholat yuk" aku mengajaknya.
Maya tak menjawab, dia langsung berdiri sambil mengusap airmata yang sejak tadi mengalir perlahan dari ujung-ujung matanya.
Aku bersimpuh di dalam masjid, merenungkan semua kejadian yang aku lalui bersama maya.
Semua begitu indah, semua begitu yakin. Aku mnenemukan wanita yang
begitu tegar, begitu istimewa. harus aku akui Maya bukan teman biasa.
______________
Sumber gambar : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjEObonAx39ov8VOmcibxRb9TujTj5naYZ3r3rTxhq5PAPCjOKnkoG2dDfLYAxN8VsbGTizFRSdtJmkmVvMGOUHNfjdufzUb_MjF6GgwO4l8aLhuqrYBnTNQsW0pjQ201xVOBN0QIOcXMo/s1600/cantik-berjilbab-2.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar